di mana aku terjebak dalam hidupku?
Aku,
mungkin tahun 2007 atau 2008, untuk pertama kalinya mengenal istilah
‘light pollution’, polusi cahaya, dari sebuah acara ilmu pengetahuan di
telivisi. Itu istilah yang asing bagi kita, bukan hanya karena ia
menggunakan bahasa asing, tapi karena keanehan bahan yang didefinisikan
sebaga polusi: cahaya. Bukankah sekarang semua pemerintah di manapun di
planet bumi ini berlomba-lomba untuk membuat setiap jengkal tanahnya
terang benderang? Membebaskan warganya dari kegelapan malam? Bahkan,
untuk banyak kasus di daerah-daerah yang jauh dari pusat pemerintahan di
Indonesia, masyarakat berswadaya untuk menghadirkan listrik dan
menerangi desa mereka. Polusi cahaya memang bukan istilah untuk
masyarakat pada umumnya, ia adalah sebuah keluhan, ia adalah sebuah
dorongan untuk pergi, ia adalah suatu akibat dari sebab yang bagus.
Polusi cahaya adalah sebuah istilah milik para astronom, mereka yang
jatuh hati dan selalu mencari ruang untuk menyaksikan bintang, bulan dan
benda-benda langit lainnya. Kita akan membicarakan polusi cahaya ini
untuk kemudian terkejut bahwa, mungkin, para astronom sebenarnya salah.
Bahwa polusi cahaya tidak hanya milik mereka, bahwa polusi cahya tidak
hanya membutakan mereka, tapi sepertinya hampir kita semua.