Senin, 23 Juli 2012

keterbutaan


di mana aku terjebak dalam hidupku?

Aku, mungkin tahun 2007 atau 2008, untuk pertama kalinya mengenal istilah ‘light pollution’, polusi cahaya, dari sebuah acara ilmu pengetahuan di telivisi. Itu istilah yang asing bagi kita, bukan hanya karena ia menggunakan bahasa asing, tapi karena keanehan bahan yang didefinisikan sebaga polusi: cahaya. Bukankah sekarang semua pemerintah di manapun di planet bumi ini berlomba-lomba untuk membuat setiap jengkal tanahnya terang benderang? Membebaskan warganya dari kegelapan malam? Bahkan, untuk banyak kasus di daerah-daerah yang jauh dari pusat pemerintahan di Indonesia, masyarakat berswadaya untuk menghadirkan listrik dan menerangi desa mereka. Polusi cahaya memang bukan istilah untuk masyarakat pada umumnya, ia adalah sebuah keluhan, ia adalah sebuah dorongan untuk pergi, ia adalah suatu akibat dari sebab yang bagus. Polusi cahaya adalah sebuah istilah milik para astronom, mereka yang jatuh hati dan selalu mencari ruang untuk menyaksikan bintang, bulan dan benda-benda langit lainnya. Kita akan membicarakan polusi cahaya ini untuk kemudian terkejut bahwa, mungkin, para astronom sebenarnya salah. Bahwa polusi cahaya tidak hanya milik mereka, bahwa polusi cahya tidak hanya membutakan mereka, tapi sepertinya hampir kita semua.




Di kota-kota besar, seperti Los Angeles, New York, beberapa bagian Jakarta dan Surabaya, Riyadh dan Dubai, Singapura atau Kuala Lumpur, Johannesburg juga London, malam hari hampir tak ada bedanya dengan siang hari. Cahaya lampu penerang jalan, lampu mobil dan sepeda motor yang menerjang ke sana kemari, cahaya dari papan iklan besar dan cemerlang, cahaya dari restoran dan toko-toko 24 jam, cahaya dari perhotelan dan gedung-gedung hiburan, menyembur keluar tanpa batas dan jeda. Cahaya terang benderang itu mengusir kegelapan jauh ketepian. Semua orang hampir bisa melihat wajah semua orang lainnya dengan jelas. Hanya saja, ketika mereka mendongak, mereka akan menyadarinya, tidak ada apa-apa di sana yang bisa dilihat. Cahaya terang benderang dari gedung-gedung mewah telah menutupi penglihatan mereka. Mereka tak bisa melihat bintang, tak bisa menyaksikan meteor yang jatuh dan berpijar, tak bisa dengan sempurna menikmati rembulan yang melingkar pelan. Keindahan angkasa raya tertutup oleh cahaya yang bertebaran dari lampu-lampu buatan. Kota besar adalah tempat yang menyakitkan bagi para astronom karena polusi cahayanya.

Kita tidak bisa meneliti benda-benda langit jika melakukannya di kota besar. Wujud mereka yang bermilyar tahun cahaya jauhnya dari bumi tereduksi oleh kuatnya lampu di sekitar. Itulah mengapa observatorium dibangun di tempat-tempat yang terpencil, jauh dari pemukiman penduduk. Para astronom amatir juga akan pergi jauh ke pedalaman atau pegunungan atau padang pasir untuk bisa menikmati pemadangan malam. Mengapa? Ah, kau pasti sudah tahu, hanya dari tempat yang gelap itulah kita bisa menyaksikan bintang dan rembulan, komet dan planet, dengan sempurna dan menakjubkan.

Orang-orang Aborigin, Taureg, Dayak dan suku-suku terpencil lainnya sama sekali tidak memiliki masalah untuk menikmati langit malam berbintang. Mereka, dari manapun tempatnya, bisa menyaksikan bintang sesuka hatinya. Kegelapan tempat tinggal mereka memungkinkan baginya untuk melihat cahaya dari kejauhan angkasa. Bahkan, mereka pun bisa menyaksikan bintang dari dalam tempat tidur mereka.

Bagaimana denganmu? Aku terhenyak di sini: kita tidak bisa menyaksikan keindahan langit malam di kota besar karena cahayanya yang terang benderang. Kita dibutakan oleh cahaya lampu-lampu gedung dan kendaraan. Tapi kita bisa menyaksikan keindahan itu dari pedalaman, tempat yang tersingkir dan penuh kegelapan. Karena kegelapan yang ada di sekitar kita tak menutupi indahnya bintang yang jauh di atas sana.

Bukankah ini terjadi setiap hari? Setiap detik? Setiap waktu? Ketika hidup dalam kelimpahan, ketika kita hidup dalam kesenangan, segala fasilitas dan kenikmatan dunia membanjiri, kita akan buta, kita akan lupa bahwa ada nikmat yang lebih besar menanti kita, bahwa ada kehidupan yang lebih indah di luar sana yang harus kita kejar. Akan tetapi, justru saat kita dalam kesusahan, dalam kesedihan yang dalam dan membutakan, kita baru bisa menyaksikan keindahan itu. Semoga cahaya yang melimpah di sekitar kita tidak membutakan kita terhadap keindahan yang lebih sempurna.

Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan (Ali-imran: 185). Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah senda guaru belaka. Kesenangan-kesenangannya bertahan sementara dan tidak sempurna. Satu-satunya yang pasti mengenai kenikmatan dunia adalah bahwa ia nantinya akan pudar dan musnah. Keluarlah dari kesenangan itu, lihatlah jauh ke sana, di atas kita, ada kesenangan yang kekal menanti dalam janji. Al-Qur’an telah mengingatkan kita sejak ratusan tahun yang lalu, sejak dahulu kala. Tinggal bersediakah kita mengejarnya?

Artikel renungan ini diambil dari blog pribadi seorang novelis sekaligus pengajar di SMA Manarul Qur'an, Arul Chandrana.

1 komentar:

  1. Hallo!
    Universitas Gunadarma membuka pendaftaran mahasiswa baru, untuk info lebih lanjut silahkan kunjungi link web dibawah ini
    Pendaftaran Mahasiswa Baru

    BalasHapus